Sound Horeg Berbahaya untuk Pendengaran, Simak Penjelasan Dokter THT

15 hours ago 4

Sound Horeg Berbahaya untuk Pendengaran, Simak Penjelasan Dokter THT Foto ilustrasi. Warga menyiapkan peralatan saat gelaran Urek Urek Carnival yang diiringi perangkat audio kapasitas besar atau sound horeg di Desa Urek-urek Kecamatan Gondanglegi, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Sabtu (12/7/2025). ANTARA FOTO - Irfan Sumanjaya

Harianjogja.com, MALANG—Sound horeg atau pertunjukan musik sangat keras menggunakan peralatan sound jumbo yang kerap diputar di banyak wilayah di Jawa Timur ternyata bisa merusak pendengaran.

Bahkan hingga menyebabkan tuli akibat masalah saraf karena telinga memiliki batas aman dalam menerima suara yakni 85db selama 8 jam, dan terus menurun toleransi lama dengarnya apabila desibel (db) makin meningkat.

Dokter Spesialis Telinga, Hidung, Tenggorokan (THT) di Rumah Sakit dr. Saiful Anwar Universitas Brawijaya (RSSA UB) dr. Meyrna Heryaning Putri, Sp.T.H.T.B.K.L., FICS, mengatakan jika intensitas suara melebihi batas 85db, organ rumah siput yang berfungsi menerima dan mengantarkan suara ke saraf pendengaran dapat mengalami kerusakan

"Tingkat keamanan suara yang dapat ditoleransi telinga yakni 85db selama 8 jam, kurang dari itu maka lebih aman," ucap dr. Meyrna, Selasa (22/7/2025).

Namun, kata dia, jika terjadi peningkatan desibel suara, maka toleransi lama pendengaran menjadi lebih pendek.

Kenaikan suara menjadi 88db maka toleransinya 4 jam, jika suara 91db maka toleransinya menurun jadi 2 jam.

"Dalam waktu singkat, volume suara 140 db dapat menyebabkan kerusakan fatal, tidak hanya saraf, tapi bisa memorak-morandakan gendang telinga, tulang-tulang pendengaran, dan semua komponen yang ada di telinga termasuk merusak rumah siput," paparnya.

Terus menerus mendengar suara dengan desibel tinggi, kata Meyrna, akan menyebabkan problem hearing (masalah pendengaran) dan problem non-hearing (masalah bukan pendengaran) seperti tidak dapat mendengar sama sekali.

Meyrna menambahkan bahwa hal ini akan mengganggu aktivitas berkomunikasi, membuat diri uring-uringan, dan akhirnya menurunkan prioritas masing-masing individu dalam kehidupan sosial.

Gejala masalah pendengaran dapat ditandai dengan kondisi telinga terasa penuh (seperti tertutup) atau berdenging dalam suara kecil.

Pada kondisi ini, maka sudah terjadi temporary trans motive, yaitu pergeseran ambang dengar yang bersifat sementara.

Apabila kondisi ini sering terjadi, maka akan terjadi hearing loss atau kehilangan pendengaran yang memiliki tingkatan seperti ringan, sedang, hingga sangat berat.

"Semakin keras dan lama kita mendengarkan musik (seperti sound horeg), maka semakin besar risiko terjadi gangguan pendengaran yang akan diderita oleh masing-masing individu," tuturnya.

Untuk mencegah kerusakan telinga, Meyrna mengutip pepatah "mencegah lebih baik daripada mengobati". Maka dari itu dia berpesan agar jangan mendengarkan sound horeg.

BACA JUGA: Hari Anak Nasional, Dalam 21 Hari 1.092 Anak Indonesia Jadi Korban Perkosaan hingga Penelantaran

Selain itu, ada beberapa tips yang dapat dilakukan untuk mengurangi suara sound horeg saat terpaksa mendengar, yaitu menggunakan pelindung telinga seperti earplug, earmuff, atau ear melt.

Meyrna menjelaskan, kalangan yang paling berisiko apabila terpapar sound horeg dapat dikategorikan dalam usia mature yakni sistem yang sudah matang dan tidak mature.

Usia tidak mature seperti bayi dan anak-anak menjadi usia yang rentan. Selain itu individu dengan penyakit bawaan misal sel rambutnya/rumah siputnya tidak normal, punya penyakit telinga seperti infeksi telinga/dengarnya sudah berlubang, dan masyarakat usia tua.

Sekalipun sound horeg memiliki risiko yang sangat tinggi, namun peminat dan eksistensinya terus meningkat.

Hal ini karena musik dapat membantu otak meredam stres dan membuat tubuh rileks. Kemudian, sound horeg telah menjadi hal umum yang bahkan sudah menjadi budaya dalam masyarakat tertentu.

"Perasaan memiliki budaya, mengantarkan pada pemahaman bahwa sound horeg bukan sesuatu yang salah, milik kita dan harus dilestarikan, meskipun bahayanya sangat tinggi," ucap dia.

Menikmati musik bukanlah hal yang salah. Namun, kata dia, kita perlu mengetahui batas level pendengaran kita. Sehingga, kita perlu bergerak memberikan pengetahuan tentang risiko bahayanya.

Dia menyebut, memberikan edukasi kepada masyarakat merupakan tugas kita bersama, bukan hanya dokter THT.

Tidak perlu punya gelar/jabatan, lanjut dia, siapapun dapat mengedukasi asalkan paham terhadap apa yang akan disampaikan, paham dampaknya, dan cara pencegahannya.

Dosen Fakultas Kedokteran (FK) UB ini menyampaikan sound horeg adalah sekumpulan sound system yang dioperasikan secara bersama di satu tempat, membunyikan lagu-lagu dengan suara yang cukup kencang dan membuat benda sekitar bahkan jantung bergetar saat mendengarnya.

Kemunculan dan popularitas sound horeg ini menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi ahli Neurotologi (pendengaran) tersebut. Sebab, peningkatan volume suara akan mengurangi waktu toleransi mendengarkan.

Suara pada angka 140db tak dapat ditolerasi oleh telinga sama sekali. Padahal, suara yang dihasilkan sound horeg dapat menyentuh angka 130db.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : Bisnis.com

Read Entire Article
Ekonomi | Politic | Hukum | Kriminal | Literatur | SepakBola | Bulu Tangkis | Fashion | Hiburan |