OPINI: Keracunan MBG, Saatnya Segera Memperbaiki Sistem Tata Kelola

2 hours ago 1

 Keracunan MBG, Saatnya Segera Memperbaiki Sistem Tata Kelola Muhammad Ridwan Ansari. S.Gz., M.Gizi, Dosen Program Studi S1 Gizi, Universitas Ahmad Dahlan. - Istimewa.

Pada 22 Maret 2024 lalu, saat Program Makan Siang dan Susu Gratis mulai digaungkan sebagai salah satu gebrakan program unggulan dari Presiden dan Wakil Presiden terpilih, saya menulis sebuah opini di Koran Harian Jogja yang berjudul "Program Makan Siang dan Susu Gratis, Apakah Efektif?" [baca: link artikel opini Harian Jogja].

Dalam tulisan tersebut saya telah menyuarakan kekhawatiran mendalam mengenai efektivitas dan implementasi program pemberian makan gratis yang dikenal kemudian menjadi program Makan Bergizi Gratis (MBG). Selain isu keberlanjutan dan dampaknya pada target, secara implisit saya menyoroti satu risiko krusial yang tidak kalah penting, yaitu isu keamanan pangan dan risiko kontaminasi makanan yang diberikan.

Kini, kekhawatiran tersebut berubah menjadi kenyataan pahit. Serangkaian Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan makanan pasca-konsumsi menu Makan Bergizi Gratis (MBG) terus menghantui anak-anak sekolah kita. Kita menyaksikan bagaimana ratusan siswa di berbagai kota seperti Bogor, Sukoharjo, hingga Garut, mengalami mual, muntah, dan diare massal. Data dari CISDI per 25 September 2025, bulan September menjadi puncak tertinggi kasus keracunan karena MBG dengan jumlah sebanyak 2,711 kasus.

Memang tiada gading yang tak retak, negara sekelas Jepang yang telah puluhan tahun melaksanakan program makan siang gratis (school lunch program) pun pernah mengalami kejadian keracunan makanan yang diakibatkan kontaminasi bakteri Salmonella Enteritidis pada tahun 2001.

BACA JUGA: Puluhan Gambar Muncul Saat Pembukaan Cupu Panjala Gunungkidul

Namun, Pemerintah Jepang menanggapi hal ini sebagai kejadian yang serius yang diikuti dengan investigasi dan evaluasi yang menyeluruh. Tidak bijaksana rasanya jika kita membandingkan jumlah insiden keracunan makanan ini dengan jutaan jumlah porsi MBG yang disalurkan di Indonesia karena jumlahnya akan terlihat kecil. Keselamatan anak, kerugiaan ekonomi yang ditimbulkan dan munculnya persepsi ketidakpercayaan masyarakat terhadap tanggung jawab Pemerintah yang lalai seharusnya perlu dipertimbangkan dengan amat serius.

Alih-alih berkaca pada akar masalah operasional yang nyata, kini justru muncul narasi yang menyalahkan para ahli gizi di lapangan, yang bertugas di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Seolah-olah, kontaminasi bakteri dan keracunan massal ini adalah bukti kegagalan profesi ini dalam merancang menu dan memastikan kendali mutu. Narasi ini keliru, tendensius, dan berupaya mengalihkan perhatian dari masalah sistemik yang sesungguhnya.

Penting untuk dipahami bahwa peran utama seorang ahli gizi seyogyanya adalah merancang standar menu yang memenuhi standar kecukupan gizi seimbang, disesuaikan dengan kebutuhan usia anak dan target perbaikan gizi. Ahli gizi punya berperan penting memastikan menu harian memiliki asupan kalori, protein hewani, vitamin, dan mineral yang memadai untuk mendukung tumbuh kembang anak secara optimal. Tentu dengan mempertimbangan pangan lokal yang tersedia setempat dan menghindari produk makanan yang diproses secara ultra (ultra-processed food) yang dikenal dengan makanan tinggi gula, garam dan lemak.

Setelah standar menu diserahkan, tanggung jawab berpindah dalam tim yang terlibat dalam sistem penyelenggaraan makanan mulai dari proses penerimaan bahan makanan mentah hingga distribusi makanan yang siap disajikan. Dalam sistem inilah tanggung jawab dipikul bersama untuk menjaga titik kritis kendali mutu dan keamanan pangan (food safety) dalam SPPG. Tanggung jawab ini tidak bisa hanya dibebankan kepada 1 orang ahli gizi yang ditugaskan, apalagi dengan kapasitas penyelenggaraan makanan dengan jumlah >3000 porsi setiap hari.

Keracunan makanan, yang disebabkan oleh bakteri seperti E.coli dan Salmonella hampir selalu bermuara pada tiga titik kegagalan utama. Pertama, dari kegagalan dalam menjaga kebersihan personel yang memasak, peralatan dapur, atau sumber air (Higiene dan Sanitasi). Kedua, kegagalan dalam melakukan manajemen suhu yang kritis. Makanan yang dimasak dalam jumlah besar dan dibiarkan terlalu lama pada suhu berbahaya (antara 5°C-60°).

Misalnya, makanan yang dimasak pada malam hari untuk disajikan keesokan siangnya adalah inkubator sempurna bagi perkembangbiakan bakteri. Ketiga, proses pengemasan dan distribusi yang Buruk. Pengemasan makanan yang masih panas dalam wadah tertutup rapat dapat memicu pertumbuhan kuman, seperti beberapa kasus yang dilaporkan di beberapa wilayah bahwa makanan MBG yang disajikan dilaporkan dalam kondisi basi.

BACA JUGA: KPK Panggil Tersangka Korupsi Pengadaan Mesin EDC BRI

Singkatnya, makanan yang dirancang bergizi oleh ahli gizi akan berubah menjadi racun jika diolah dan didistribusikan dalam sistem yang abai terhadap standar higienitas dan keamanan pangan. Ini adalah kegagalan operasional di dapur yang perlu diperbaiki.

Perbaikan Sistem adalah Solusi, Bukan Blame Game

Upaya menyalahkan ahli gizi hanya akan mengaburkan inti persoalan, yaitu manajemen risiko keamanan pangan dalam skala besar. Jika pemerintah serius ingin melanjutkan program ini tanpa mengorbankan kesehatan anak, fokus evaluasi harus diarahkan pada:

1) Wajibkan setiap dapur SPPG untuk memiliki sertifikasi laik hygiene dan sanitas (SLHS) di setiap SPPG dan terapkan audit atau inspeksi berkala yang melibatkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Dinas Kesehatan setempat.

2) Seluruh personel yang terlibat dalam pengolahan dan distribusi makanan harus menjalani pelatihan dan mematuhi Standard Operasional Prosedur (SOP) Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP), terutama terkait manajemen suhu dan waktu penyajian.

3) Prioritaskan anggaran untuk perbaikan infrastruktur dapur, memastikan sumber air yang layak, dan fasilitasi distribusi yang terstandarisasi, sehingga makanan tidak lagi didistribusikan tanpa kontrol suhu.

4) Rekrut sumber daya manusia yang sesuai standar kapasitas dan kebutuhan untuk penyelenggaraan makanan massal.

Program MBG memiliki tujuan luhur untuk membangun sumber daya manusia unggul. Namun, tanpa fondasi keamanan pangan yang kokoh, tujuan tersebut hanya akan menjadi janji kosong. Jangan biarkan anak-anak kita menjadi korban dari kelemahan sistem yang sudah terprediksi. Sudah saatnya kita menghentikan blame game dan segera melakukan perbaikan sistemik yang nyata.

*Dosen Program Studi S1 Gizi, Universitas Ahmad Dahlan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Read Entire Article
Ekonomi | Politic | Hukum | Kriminal | Literatur | SepakBola | Bulu Tangkis | Fashion | Hiburan |