Tempe jadi sumber protein nabati yang baik untuk membantu tumbuh kembang anak. - Ilustrasi - Freepik
Harianjogja.com, JAKARTA—Dokter gizi menegaskan kurangnya asupan protein dapat memicu stunting, terutama pada anak usia tumbuh kembang. Hal ini diungkapkan Dokter spesialis gizi klinik lulusan Universitas Indonesia, dr Pande Putu Agus Mahendra, M.Gizi, SpGK.
“Protein salah satu komponen nutrisi makro yang menjadi bagian dari gizi seimbang, jadi kehadiran protein suatu hal terpenting khususnya pada anak-anak yang dalam masa fase tumbuh dan kembang,” ujar dr. Pande Putu Agus Mahendra, M.Gizi, SpGK AIFO-K CISSN FACSM, Jumat (26/9/2025).
Pande menjelaskan protein yang terbentuk dari rangkaian asam amino, merupakan komponen dalam proses pembentukan dan regenerasi sel tubuh khususnya otot rangka. Namun, asupan protein yang rendah pada anak justru bisa memicu terjadinya stunting.
“Kasus malnutrisi banyak terjadi pada anak dengan asupan protein yang rendah, dan memicu terjadinya stunting,” kata dia.
BACA JUGA: Polda DIY Tindaklanjuti Isu Polairud Terlibat Distribusi BBM di Pantai Sadeng
Pande menjelaskan dalam mengonsumsi asupan protein juga memiliki batasannya. Sebab, jika berlebihan dapat memicu gangguan pada organ tubuh lainnya, khususnya ginjal.
“Karena protein tanpa komponen nutrisi makro lainnya tidak akan dapat berperan dengan sempurna,” tutur dokter yang berpraktik di Siloam Hospitals Mampang itu.
Menurut dia, asupan protein pada anak nantinya akan disesuaikan sesuai dengan umur dan berat badannya sesuai dengan rekomendasi Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan konsensus Internasional.
Sementara asupan protein untuk usia dewasa, lanjut Pande, rata-rata berada di 0,8-1,2 g/ kgBB. Kemudian, pada individu dengan aktifitas fisik berat atau di olahragawan dapat dinaikkan hingga 1,6-1,8 g/kgBB.
“Riset yang pernah dilakukan oleh Prof Stuart dari McMaster University dan dari ACSM menunjukkan tidak ada manfaat dan hasil yang berbeda antara konsumsi protein 1,6-1,8 g/kgBB dengan asupan >1,8 g/kgBB, dan didapatkan pula potensi gangguan fungsi organ pada asupan >1,8 g/kgBB,” jelas dia.
Pande menambahkan bahwa sumber protein terdapat pada pangan nabati bersumber dari ikan, telur, unggas, serta daging putih dan merah. Kemudian, pangan hewani bersumber dari ikan, telur, unggas, serta daging putih dan merah.
Pada kondisi tertentu, lanjut Pande, pangan hewani seperti bersumber dari makanan laut atau seafood dapat memicu kondisi alergi. Pemicu alerginya terjadi karena komponen protein dari pangan laut tersebut seperti parvabulmin pada ikan bersirip tinggi, tropomyosin pada jenis crustaceans.
“Cukup banyak kasusnya seperti pangan laut dari jenis bercangkang atau crustacea dan jenis mollusca dan beberapa jenis ikan laut yang tersering tuna, tongkol dan salmon, bahkan ikan air tawar dan payau seperti jenis tilapia dan bandeng juga dapat memicu alergi,” kata dia.
Beberapa jenis komponen asam amino lain, kata Pande, seperti arginine yang juga banyak ditemukan di kacang-kacangan, dapat menjadi salah satu faktor yang memicu alergi karena kacang-kacangan dan produk kedelai.
Menurut dia, protein hewani bisa diganti sepenuhnya dengan protein nabati terutama bagi mereka yang memilih pola makan vegetarian. Namun, bukan berarti pemberian protein nabati sepenuhnya tidak ada potensi alergi.
“Karena produk nabati juga ada dan pada beberapa kasus dapat memicu kematian karena terjadinya afiksia,” ujar dia.
Lebih lanjut, dokter Pande menyarankan penggunaan sumber protein untuk produk massal seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) disarankan penggunaan komponen yang cenderung aman seperti pangan unggas, telur, daging putih atau merah, dan protein nabati seperti tempe dan tahu.
Namun yang terpenting kontrol dan pengawasan dalam pengolahan, penyimpanan dan pengantaran, serta adanya evaluasi harian ke anak-anak karena alergi bersifat individual.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Antara