Foto ilustrasi Makan Bergizi Gratis berupa sayur, ayam goreng lengkap dengan buah dan susu, dibuat menggunakan Artificial Intelligence - AI.
Harianjogja.com, JAKARTA—Ombudsman Republik Indonesia (ORI) mengungkap empat potensi maladministrasi dalam penyelenggaraan program Makan Bergizi Gratis (MBG), yaitu penundaan berlarut, diskriminasi, tidak kompeten, dan penyimpangan prosedur.
Program MBG menargetkan 82,9 juta penerima manfaat dengan alokasi anggaran Rp71 triliun pada 2025 dan menempatkan Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai koordinator utama. Namun, hingga September 2025 Ombudsman mencatat baru 26,7% Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang berfungsi.
Kesenjangan ini menimbulkan risiko besar tidak tercapainya target layanan pada tahun berjalan. Lebih lanjut Yeka menjabarkan, potensi maladministrasi penundaan berlarut ditemukan proses verifikasi mitra tanpa kepastian waktu dan keterlambatan pencairan honorarium staf lapangan.
BACA JUGA: ORI Minta Junk Food Tidak Dimasukkan dalam Menu MBG
Selain itu, teridentifikasi adanya diskriminasi berupa potensi afiliasi yayasan dengan jejaring politik yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dalam penetapan mitra. Dari sisi kompetensi, kelemahan terlihat pada penerapan standar operasional prosedur, misalnya dapur tidak menyimpan catatan suhu atau retained sample.
Sementara itu, penyimpangan prosedur terjadi dalam bentuk pengadaan bahan yang tidak sesuai kontrak, misalnya ditemukan beras kualitas medium diterima meskipun dalam kontrak tertulis premium.
"Empat bentuk maladministrasi ini bukan hanya mencerminkan lemahnya tata kelola, tetapi juga menjadi pengingat penting bahwa prinsip pelayanan publik-kepastian, akuntabilitas, dan keterbukaan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009-harus ditegakkan secara konsisten," ucapnya dikutip dari keterangan resminya, Rabu (1/10/2025).
Dari hasil kajian Ombudsman ini, Yeka menjabarkan terdapat delapan masalah utama dalam penyelenggaraan program MBG.
Pertama; kesenjangan yang lebar antara target dan realisasi capaian; kedua, maraknya kasus keracunan massal yang terjadi di berbagai daerah; ketiga, permasalahan dalam penetapan mitra yayasan dan SPPG yang belum transparan dan rawan konflik kepentingan; keempat, keterbatasan dan penataan sumber daya manusia, termasuk keterlambatan honorarium serta beban kerja guru dan relawan.
Kelima, ketidaksesuaian mutu bahan baku akibat belum adanya standar Acceptance Quality Limit (AQL) yang tegas; keenam, penerapan standar pengolahan makanan yang belum konsisten, khususnya Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP); ketujuh, distribusi makanan yang belum tertib dan masih membebani guru di sekolah; serta kedelapan, sistem pengawasan yang belum terintegrasi, masih bersifat reaktif, dan belum sepenuhnya berbasis data.
BACA JUGA: Amerika Serikat Shutdown, Presiden Trump Ancam PHK Banyak Pihak
''Delapan permasalahan tersebut menimbulkan risiko turunnya kepercayaan publik, bahkan telah memicu kekecewaan dan kemarahan masyarakat, sehingga diperlukan langkah perbaikan yang cepat, terukur, dan transparan agar tujuan utama program Makan Bergizi Gratis sebagai wujud kehadiran negara dalam melindungi dan menyejahterakan rakyat tetap terjaga,'' ujarnya.
Ombudsman mendesak pemerintah, khususnya BGN, untuk segera melakukan perbaikan mendasar dalam penyelenggaraan program MBG. Perbaikan tersebut mencakup penyempurnaan regulasi kemitraan dengan menegakkan prinsip kepastian waktu, keterbukaan, dan akuntabilitas, serta penguatan sumber daya manusia dan sistem administrasi agar pembayaran maupun koordinasi berjalan lebih lancar.
Ombudsman juga mendorong keterlibatan penuh BPOM dalam pengawasan keamanan pangan dan distribusi, pembangunan dashboard digital untuk pemantauan real time mutu bahan, distribusi, serta penggunaan anggaran, dan jaminan perlindungan serta kompensasi bagi guru yang dilibatkan dalam proses distribusi.
Terkait evaluasi pelaksanaan SPPG, Ombudsman memberikan sejumlah saran perbaikan. "Bagi SPPG yang telah menimbulkan insiden kesehatan harus dihentikan untuk dievaluasi. SPPG yang berjalan normal tetap dipantau dan dipastikan tidak terjadi insiden kesehatan di kemudian hari. Bagi yang belum beroperasi, harus memenuhi sertifikasi keamanan pangan dan semua SOP dilakukan menuju zero incident," tegas Yeka.
Ombudsman menegaskan komitmennya untuk terus mengawasi pelaksanaan program MBG sekaligus mendorong perbaikan layanan publik demi pemenuhan hak dasar masyarakat. "Semoga saran yang disampaikan Ombudsman dapat segera dilaksanakan dan segera berbenah. Pada akhirnya keberhasilan MBG dilihat dari tata kelola yang baik, penggunaan anggaran yang akuntabel, dan penerapan sertifikasi pangan menujuzero accident di setiap SPPG," tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Bisnis.com