Taliban Larang Buku Karya Perempuan di Universitas Afghanistan

11 hours ago 1

Taliban Larang Buku Karya Perempuan di Universitas Afghanistan Para anggota Taliban berdiri di luar Bandara Internasional Hamid Karzai di Kabul, Afghanistan. - Antara - Reuters

Harianjogja.com, JOGJA—Pemerintah taliban melarang buku-buku karya perempuan dalam kurikulum ke seluruh universitas di Afghanistan. Ini merupakan bagian dari kebijakan baru yang juga melarang pengajaran hak asasi manusia (HAM) dan pelecehan seksual.

Setidaknya ada 140 buku karya perempuan dengan berbagai judul yang dilarang salah satunya seperti Keselamatan di Laboratorium Kimia. Mencakup 680 buku yang dianggap memprihatinkan karena memuat kebijakan anti Syariah dan Taliban.

Semua universitas di Afghanistan tidak diizinkan lagi mengajarkan 18 mata kuliah. Seorang pejabat Taliban mengatakan bahwa mata kuliah yang dilarang bertentangan dengan prinsip-prinsip Syariah dan kebijakan sistem.

Dekrit ini merupakan kebijakan baru dari serangkaian pembatasan yang diberlakukan Taliban sejak berkuasa kembali empat tahun lalu. Pada pekan ini internet serat optik juga dilarang setidaknya di 10 provinsi atas perintah pemimpin tertinggi Taliban. Para pejabat Taliban mengklaim, langkah ini ditempuh demi mencegah amoralitas.

Berbagai pembatasan yang dilakukan sudah berdampak ke banyak aspek kehidupan. Akan tetapi dampak yang paling kentara dirasakan oleh perempuan. Sebab mereka dilarang mengenyam pendidikan di atas kelas enam.

BACA JUGA: PBB Upayakan Damai Israel dan Palestina

Salah satu jalur terakhir mereka untuk melanjutkan pendidikan diputus pada akhir 2024, ketika kursus kebidanan diam-diam ditutup.

Saat ini mata kuliah universitas tentang perempuan juga menjadi sasaran. Sebanyak 18 mata kuliah yang dilarang karena membahas perempuan, termasuk gender dan pembangunan, peran Perempuan dalam komunikasi, dan sosiologi perempuan. Sementara Pemerintahan Taliban menyatakan mereka menghormati hak-hak perempuan sesuai dengan interpretasi terhadap budaya Afghanistan dan hukum Islam.

Pelarangan buku-buku perempuan ini dibenarkan oleh seorang anggota komite peninjau buku. Dia mengatakan bahwa semua buku yang ditulis oleh perempuan tidak boleh diajarkan.

Mantan wakil menteri kehakiman sebelum Taliban kembali berkuasa Zakia Adeli dan salah satu penulis buku mengaku tidak terkejut dengan langkah Taliban. Mengingat pola pikir dan kebijakan misoginis Taliban.

"Sudah barang tentu ketika perempuan tidak diizinkan belajar, pandangan, ide, dan tulisan mereka juga ditekan," ujarnya.

Wakil direktur akademik Kementerian Pendidikan Tinggi pemerintahan Taliban, Ziaur Rahman Aryubi menyampaikan lewat sebuah surat kepada universitas-universitas bahwa aturan itu telah dibuat oleh panel yang terdiri dari ulama dan pakar agama.

Tidak hanya buku karya perempuan, larangan ini tampaknya juga menyasar buku-buku karya penulis atau penerbit Iran. Salah satu anggota panel peninjau buku mengatakan larangan tersebut dirancang untuk mencegah infiltrasi konten Iran ke dalam kurikulum Afghanistan.

Dalam daftar setebal 50 halaman yang dikirimkan ke seluruh universitas di Afghanistan, ada 679 judul buku yang dilarang. Dari total buku yang dilarang 310 di antaranya ditulis oleh penulis Iran atau diterbitkan di Iran.

Seorang profesor di sebuah institusi yang namanya minta dirahasiakan demi keamanan menilai hampir mustahil untuk mengisi kekosongan setelah buku-buku tersebut dilarang. Menurutnya buku-buku karya penulis dan penerjemah Iran berfungsi sebagai penghubung utama antara universitas-universitas Afghanistan dan komunitas akademik global.

"Penghapusan buku-buku tersebut menciptakan kekosongan substansial dalam pendidikan tinggi," jelasnya.

Seorang profesor di Universitas Kabul mengatakan dalam situasi seperti ini mereka terpaksa menyusun sendiri buku teks, dengan mempertimbangkan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh pemerintah Taliban. Pertanyaan terbesarnya yakni apakah buku ini disusun sesuai standar global?

Taliban Kuasai Afghanistan

Taliban sudah empat tahun menguasai Afganistan. Pada Agustus 2021 saat kota Kabul jatuh ke tangan Taliban masih banyak yang mengira kekuasaannya akan berlangsung sementara. Akan tetapi empat tahun berselang keyakinan itu runtuh.

Sebab hingga saat ini Taliban kokoh di puncak kekuasaan. Saking kokohnya hingga banyak pemerintahan Eropa termasuk Jerman mulai menormalisasi hubungan dengan pemerintahan de facto di Kabul serta menjadikan mereka mitra bicara resmi.

Pada awal Juli lalu Rusia menjadi negara pertama yang secara resmi mengakui pemerintahan Taliban. Peneliti hubungan internasional di Universitas Inalco, Paris, yang mengkhususkan diri pada bahasa dan budaya Timur, Sardar Rahimi mengatakan dengan begini Rusia mengambil alih peran yang sebelumnya dimainkan Amerika Serikat (AS) di Afghanistan.

BACA JUGA: Kraton Jogja Ditetapkan sebagai Pusat Kebudayaan dan Warisan Leluhur

"Peran yang ditinggalkan sukarela saat menarik pasukan empat tahun lalu," ucapnya.

China juga berusaha membina hubungan ekonomi dan diplomatik yang erat dengan pemerintahan Taliban meskipun belum memberi pengakuan resmi. Akan tetapi pada Januari 2024 Presiden Xi Jinping sudah menerima duta besar Taliban di Beijing dengan protokol kenegaraan lengkap.

Bagi pemerintah Komunis di Beijing, Afganistan punya peran penting untuk mendorong proyek infrastruktur global. Hak eksploitasi dan ekspor bahan tambang berharga dari Afganistan diharapkan bisa menopang ledakan produksi industri di China.

Meski menolak Taliban secara politik, Jerman tetap membuka kanal komunikasi lewat Qatar. Rahimi menjelaskan, demi bisa mendeportasi pengungsi ke Afganistan, negara-negara Barat mau tidak mau harus berurusan langsung dengan penguasa di Kabul, bahkan sampai memberi koneksi tertentu.

Jerman sudah mengirimkan dua penerbangan deportasi ke Afghanistan sejak Taliban berkuasa. Sebanyak 109 warga negara Afganistan dipulangkan, 56 di antaranya terpidana kejahatan.

Kelompok HAM seperti Pro Asyl mengecam aksi deportasi karena dianggap sebagai pelanggaran terhadap hukum internasional. Konvensi Eropa tentang HAM melarang pemulangan ke negara yang berpotensi melakukan perlakuan tidak manusiawi.

Pemerintah Taliban terlebih dahulu harus mengesahkan kewarganegaraan biasanya lewat paspor atau dokumen pengganti agar deportasi bisa dilakukan. Proses ini butuh negosiasi intensif.

Lebih lanjut Rahimi mengatakan negara Barat harus mengakui kenyataan bahwa Taliban kini mengontrol seluruh aspek kehidupan publik di Afganistan. Landasan yang sama juga berlaku bagi negara lain yang berhubungan dengan rezim di Kabul.

Menurutnya Taliban tidak banyak bicara tentang pertemuan dengan negara-negara seperti Jerman. Bagi mereka, fakta bahwa Barat meminta bicara sudah merupakan kemenangan besar.

Menteri Luar Negeri Jerman, Johann Wadephul membenarkan adanya kontak teknis dengan Taliban. Ia menyebut koneksi ini murni soal praktis, bukan politik apalagi hukum.

"Kami harus berbicara dengan banyak pemerintahan atau rezim yang pandangan dan tindakannya tidak kami setujui. Namun, terkadang kepentingan kami mengharuskannya. Mengingkari itu berarti menolak realitas."

Pelanggaran HAM dan Bencana Kemanusiaan

Para kelompok pemantau independen menyepakati jika Taliban secara sistematis menindas HAM dan kebebasan sipil. Mantan Diplomat Afganistan, Shukria Barakzai mengatakan hak-hak perempuan dijadikan alat tawar politik.

Kepemipinan Taliban melarang secara total perempuan tampil di ruang publik. Sebanyak 1,4 juta anak perempuan usia di atas 12 tahun dilarang sekolah. SMA dan universitas juga tertutup bagi perempuan. Sementara laporan organisasi HAM menunjukkan kekerasan berbasis gender marak di seluruh negeri.

Selain itu jurnalis oposisi juga mendapatkan tekanan yang keras. Reporter without Borders mencatat pada 2024 sedikitnya 12 media ditutup. Afganistan kini berada di peringkat 175 dari 180 negara dalam Indeks Kebebasan Pers.

"Taliban mengancam, menangkap, dan mengusir jurnalis, menyensor berita, serta menggerebek kantor media," tulis mereka.

Di sisi lain situasi kemanusiaan di Afganistan juga memprihatinkan. Komisi Eropa mencatat 22,9 juta orang atau separuh dari populasi bergantung pada bantuan internasional.

World Food Programme (WFP) mencatat satu dari empat warga mengalami krisis pangan atau setara dengan 10 juta orang. Dan sepertiga anak-anak mengalami kekurangan gizi.

Kondisi krisis ini semakin parah ketika AS menutup United States Agency for International Development (USAID) serta menghentikan bantuan kemanusiaan Juli lalu. Sebanyak 3 juta orang kehilangan layanan kesehatan, 420 klinik tutup.

Melalui Bank Dunia, badan-badan PBB, dan LSM, sejak 2021 Jerman mengucurkan 551 juta euro bantuan pembangunan. Bantuan ini disalurkan tanpa melibatkan Taliban. Pemerintah baru pun menghentikan program Bundesaufnahmeprogramm, yakni aksi untuk membawa warga Afganistan yang pernah bekerja untuk misi Jerman sebelum 2021 ke Jerman.

Ada sekitar 2.400 mantan pekerja lokal sudah mendapat persetujuan masuk, tapi tak kunjung memperoleh visa. Mereka kini terjebak di Iran atau Pakistan dan terancam deportasi massal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Read Entire Article
Ekonomi | Politic | Hukum | Kriminal | Literatur | SepakBola | Bulu Tangkis | Fashion | Hiburan |