Harianjogja.com, JAKARTA— Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materiil terhadap Undang-Undang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Keputusan ini mengakhiri polemik Tapera selama setahun ini.
UU tersebut sebelumnya sempat diprotes oleh kalangan pekerja dan pengusaha. MK mengabulkan uji materiil 134/PUU-XXII/2024 terkait Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat atau UU Tapera.
Adapun, uji materiil terhadap UU Tapera diajukan oleh sejumlah pihak, termasuk kalangan serikat pekerja. Dalam sidang pengucapan putusan pada, Senin (29/9/2025), MK menyatakan Pasal 7 ayat (1) UU Tapera, bertentangan dengan konstitusi sehingga berkonsekuensi yuridis terhadap pasal-pasal lainnya dalam UU tersebut.
BACA JUGA: Akad Massal Penyerahan Rumah Subsidi Digelar Pekan Depan
“Menyatakan UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera bertentangan dengan Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dilakukan penataan ulang, sebagaimana amanat Pasal 124 UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 96/PUU-XXII/2024.
Dalam pertimbangan hukum, Wakil Ketua MK Saldi Isra menjelaskan bahwa relasi hukum antara masyarakat dan lembaga keuangan dibangun atas dasar kepercayaan dan kesepakatan bersama. Menurut MK, unsur kesukarelaan dan persetujuan menjadi fondasi penting dalam pembentukan hukum dan konteks penyimpanan dana.
Sementara itu, Pasal 7 ayat (1) mengatur bahwa setiap pekerja dan pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum wajib menjadi peserta Tapera. Oleh sebab itu, MK menyatakan penyematan istilah tabungan dalam program Tapera menimbulkan persoalan bagi pihak-pihak yang terdampak, dalam hal ini pekerja, karena diikuti dengan unsur pemaksaan dengan meletakkan kata wajib sebagai peserta Tapera.
“Sehingga secara konseptual, tidak sesuai dengan karakteristik hakikat tabungan yang sesungguhnya karena tidak lagi terdapat kehendak yang bebas,” ucap Saldi.
Dengan dikabulkannya uji materiil UU Tapera, maka pekerja swasta tidak lagi diwajibkan menjadi peserta Tapera. Selain itu, kewajiban membayar iuran Tapera yang sedianya bakal diberlakukan pada 2027 juga dipastikan batal.
Ditolak Pekerja-Pengusaha
Untuk diketahui, aturan Tapera untuk pekerja swasta tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat pada 20 Mei 2024.
Adapun, PP No.21/2024 ini merupakan turunan dari Undang-Undang No.4/2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat atau UU Tapera. Pasal 15 ayat 1 PP No.21/2024 dijelaskan bahwa besaran simpanan peserta yang ditetapkan sebesar 3% dari gaji atau upah peserta.
Hal inilah yang kemudian banyak disorot dan mendapat banyak penolakan dari masyarakat maupun pengusaha. Perinciannya, untuk peserta pekerja iurannya akan ditanggung bersama oleh pemberi kerja sebesar 0,5%, sedangkan pekerja akan menanggung beban iuran sebesar 2,5% dari gaji.
BACA JUGA: Tapera, Tabungan Perumahan Rakyat atau Tabungan Pemberat Rakyat
Adapun, besaran iuran simpanan peserta bagi pekerja mandiri akan sepenuhnya ditanggung sendiri yakni sebesar 3%. Pekerja beraktivitas di proyek pembangunan perumahan di Bogor, Jawa Barat, pada Selasa (4/4/2023).
Pembelian unit KPR FLPP dapat dilakukan melalui dana Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). - Bisnis/Abdurachman Penarikan iuran kepada pelaku swasta baru akan dibebankan 7 tahun setelah PP 25/2020 resmi diteken atau berlaku mulai 2027.
Hal itu juga dijelaskan dalam Pasal 68 yang menegaskan bahwa pemberi kerja untuk Pekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf i (pekerja swasta) mendaftarkan Pekerjanya kepada BP Tapera paling lambat 7 tahun sejak tanggal berlakunya PP tersebut.
Aturan yang mewajibkan pekerja swasta menjadi peserta Tapera itu pun sempat diprotes kalangan pekerja. Pasalnya, hal tersebut akan semakin membebani para pekerja. Bahkan, kalangan buruh sempat melakukan aksi demo penolakan program Tapera.
Kala itu, Presiden Partai Buruh sekaligus Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengungkapkan alasan para buruh mendesak kebijakan Tapera dicabut. Pertama, buruh menilai tidak ada kepastian terhadap peserta Tapera termasuk buruh, untuk mendapatkan rumah.
Mengingat, potongan 3% dari penghasilan pekerja buruh dinilai tidak cukup untuk membayar uang muka, apalagi membeli rumah. Kedua, pemerintah tidak mengiur dana Tapera tetapi mengelola uang masyarakat. Dia menyebut, pemerintah tidak memiliki hak untuk memotong upah buruh dan upah dari pengusaha.
Ketiga, membebani buruh, lantaran saat ini saja penghasilan para pekerja buruh sudah dipotong hampir 12% diantaranya untuk BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, hingga PPh21.
Selain itu, Said mengatakan bahwa daya beli buruh turun sebesar 30% akibat upah yang naiknya hanya sekitar 1,58%, sedangkan inflasi 2,8%. “Bisa-bisa buruh pulang ke rumah hanya bawa slip gaji,” ucap Said.
Penolakan terhadap Tapera juga disampaikan kalangan pengusaha. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta W. Kamdani mengatakan bahwa pihaknya telah menyampaikan keberatan terkait dengan Tapera.
Pasalnya, pemberi kerja atau perusahaan diwajibkan membayar sebesar 0,5% dari total 3% besaran simpanan Tapera para pekerjanya. Dia menuturkan, beban pungutan yang ditanggung pengusaha saat ini mencapai 18,24% hingga 19,75% yang mencakup Jamsostek, JHT, jaminan kematian, kecelakaan kerja, pensiun, jaminan sosial kesehatan, dan lainnya.
Oleh karena itu, tambahan iuran Tapera akan membuat beban usaha semakin berat. Respons BP Tapera Sementara itu, Komisioner Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) menyebutkan bahwa pihaknya menghormati segala putusan yang ditetapkan MK.
"Ya kita menghormati putusan MK, nanti akan kita lakukan kajian lah pasti. Bagaimana supaya Tapera ini bisa berjalan, tapi tidak menjadi beban bagi rakyat, bagi masyarakat," kata Heru saat ditemui di Cileungsi, Bogor, Senin (29/9/2025).
Lebih lanjut, dia menyebut akan merumuskan sejumlah konsep pembiayaan kreatif. Salah satunya, Tabungan Perumahan Rakyat akan diusulkan untuk mendapat pendanaan dari proyek investasi.
Tak hanya itu, dia juga tak menutup kemungkinan dana murah BP Tapera akan mengandalkan likuiditas dari perluasan implementasi Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).
"Bisa jadi ini perluasan skema FLPP yang saat ini kita kelola atas pemerintah. Ataupun skema berbasis investasi, tapi kan tentu aturannya harus kita sesuaikan dulu. Harus kita review dulu itu kita upayakan," jelasnya.
Dengan putusan tersebut, maka iuran Tapera yang semula akan ditarik mulai 2027 batal dijalankan. Heru juga belum dapat memastikan apakah iuran Tapera itu akan tetap berlaku bagi PNS ataupun ASN.
"Tentu kita harus lihat dulu ya, konteks dari pasca putusan MK ini seperti apa nantinya, ke implementasi Undang-Undang No.4 Tahun 2016 tentang Perumahan Rakyat. Kalau konteksnya sukarela, tentu harus ada upaya untuk membuat satu skema tabungan sukarela, tapi benefitnya jelas," tambahnya.
Sebelumnya, Heru menjelaskan bahwa tujuan utama pemerintah ingin menjalankan program Tapera ialah untuk menekan angka ketimpangan pemilikan rumah atau backlog perumahan yang dilaporkan mencapai 9,95 juta.
"Ini konsepsi UU Nomor 4 Tahun 2016, tadi Pak Kepala Staf Kepresidenan sudah menyampaikan kesenjangan kepemilikan rumah ini sangat tinggi 9,95 juta keluarga tak miliki rumah," kata Heru dalam Konferensi Pers di Kantor Staf Presiden, Jakarta, Jumat (31/5/2024).
Sementara itu, kemampuan pemerintah untuk menyediakan rumah sangat terbatas. Oleh karena itu, dia menilai implementasi Tapera bakal menjadi salah satu jalan yang mampu mengentaskan ketimpangan tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Bisnis.com